Monday, 4 March 2013

Apresiasi Puisi


Puisi

Karya sastra sering kali merupakan suatu rekaman peristiwa yang terjadi di masyarakat yang ditangkap oleh “kamera” sastrawan. Tangkapan tersebut diwujudkan ke dalam berbagai bentuk media sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk media yang dipilih sastrawan. Media puisi biasanya singkat karena ada pemadatan isi. Sering kali isi (pesan) yang terkandung dalam puisi disampaikan secara tidak terang-terangan (tersirat). Pesan tersebut juga tidak dapat ditafsirkan secara tunggal. Untuk memahami dan mengkaji keindahan puisi, kita perlu memperhatikan bahasa puisi. Bahasa puisi yang diungkapkan oleh penyair secara khas. Yang dimaksud dengan bahasa yang khas, yaitu bahasa dengan struktur dan gaya pengungkapan yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Sastrawan Indonesia yang telah dikenal dengan penyajian bahasa dan gaya pengungkapan yang khas, diantaranya adalah Chairil Anwar, Amir Hamzah, W.S Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya,dan masih banyak lagi.


Citraan (pengimajian/penggambaran)

Dalam memahami makna puisi, kita dapat memperhatikan gambaran yang ada dalam puisi itu. Gambaran itu disebut citraan. Melalui citraan, gambaran yang ada dalam puisi dapat ditangkap dan dihayati pembaca. Citraan  terkait dengan kemampuan pancaindra pembaca. Perhatikan satu bait kutipan puisi “Kita Saksikan”, karya Goenawan Mohamad, berikut ini!
Kita saksikan burung-burung lintas di udara
Kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
Waktu cuaca pun senyap seketika
Sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
Dalam kutipan puisi di atas, ada citraan penglihatan. Perhatikan larik “kita saksikan burung-burung lintas di udara dan kita saksikan awan-awan kecil di langit utara.”



Membaca dan menafsirkan puisi

Membaca dan menafsirkan puisi bertujuan agar kita dapat mengungkapkan isi puisi kepada orang lain.
Perhatikan puisi berikut!
Perempuan-perempuan perkasa

Perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula datang pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka?
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka, berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
Merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
Siapakah mereka?
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Puisi ini adalah karya Hartoyo Andangjaya. Puisi ini bercerita tentang perempuan yang bekerja keras (yang sehari-hari terlihat sebagai perempuan biasa). Namun, ia dipuji oleh Hartoyo Andangjaya sebagai perempuan perkasa, yang mana dapat kita rasakan bahwa penyair bercerita dengan penuh kekaguman.


Berikut ini adalah puisi yang dikarang langsung oleh Presiden Republik Indonesia  Bapak Susilo Bambang Yudhoyono 

Tragedi anak bangsa

Hatiku pernah tertinggal
Di sudut-sudut kota
Di pinggir-pinggir kehidupan
Dan di dusun sunyi terbatas sungai
Penuh tragedy
Hatiku pernah tertinggal
Dengan iba
Ketika air mata habis dalam duka
Bersama anak yatim dan janda nestapa
Dalam puing dan debu hunian mereka
Tuhanku, Engkau telah menjadi saksi
Di tanah beku, dingin tak ramah
Ambon, Poso, Sampit, dan Antambua
Di relung kegelapan tetesan derita
Tertegun aku ketika nurani berbisik
Dan mengetuk rebana kerinduan
Tuk berlari dan menyapa
Kembang perdamaian yang kini mekar
Sayap persaudaraan yang kini mengangkasa
Dan hujan kasih saying yang membasuh
Pertiwi
Dari taman sari, relung sanubari
Dari pelataran, getar alam pikiran
Bukan di ujung palu dan tajamnya pedang

(Republika, 18 Januari 2004)









No comments:

Post a Comment