Puisi
Karya sastra sering kali merupakan suatu rekaman peristiwa
yang terjadi di masyarakat yang ditangkap oleh “kamera” sastrawan. Tangkapan tersebut
diwujudkan ke dalam berbagai bentuk media sastra. Puisi merupakan salah satu
bentuk media yang dipilih sastrawan. Media puisi biasanya singkat karena ada
pemadatan isi. Sering kali isi (pesan) yang terkandung dalam puisi disampaikan
secara tidak terang-terangan (tersirat). Pesan tersebut juga tidak dapat
ditafsirkan secara tunggal. Untuk memahami dan mengkaji keindahan puisi, kita
perlu memperhatikan bahasa puisi. Bahasa puisi yang diungkapkan oleh penyair
secara khas. Yang dimaksud dengan bahasa yang khas, yaitu bahasa dengan
struktur dan gaya pengungkapan yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Sastrawan
Indonesia yang telah dikenal dengan penyajian bahasa dan gaya pengungkapan yang
khas, diantaranya adalah Chairil Anwar, Amir Hamzah, W.S Rendra, Sutardji
Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya,dan masih banyak lagi.



Citraan (pengimajian/penggambaran)
Dalam memahami makna puisi, kita dapat memperhatikan
gambaran yang ada dalam puisi itu. Gambaran itu disebut citraan. Melalui citraan,
gambaran yang ada dalam puisi dapat ditangkap dan dihayati pembaca. Citraan terkait dengan kemampuan pancaindra pembaca. Perhatikan
satu bait kutipan puisi “Kita Saksikan”, karya Goenawan Mohamad, berikut ini!
Kita saksikan burung-burung lintas di udara
Kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
Waktu cuaca pun senyap seketika
Sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
Dalam kutipan puisi di atas, ada citraan penglihatan. Perhatikan
larik “kita saksikan burung-burung lintas di udara dan kita saksikan awan-awan
kecil di langit utara.”
Membaca dan menafsirkan puisi
Membaca dan menafsirkan puisi bertujuan agar kita dapat
mengungkapkan isi puisi kepada orang lain.
Perhatikan puisi berikut!
Perempuan-perempuan
perkasa
Perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah
mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula datang pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke
manakah mereka?
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka, berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
Merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
Siapakah mereka?
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan
perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Puisi ini adalah karya Hartoyo Andangjaya. Puisi ini
bercerita tentang perempuan yang bekerja keras (yang sehari-hari terlihat
sebagai perempuan biasa). Namun, ia dipuji oleh Hartoyo Andangjaya sebagai
perempuan perkasa, yang mana dapat kita rasakan bahwa penyair bercerita dengan
penuh kekaguman.
Berikut ini adalah puisi yang dikarang langsung oleh
Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo
Bambang Yudhoyono
Tragedi anak bangsa
Hatiku pernah tertinggal
Di sudut-sudut kota
Di pinggir-pinggir kehidupan
Dan di dusun sunyi terbatas sungai
Penuh tragedy
Hatiku pernah tertinggal
Dengan iba
Ketika air mata habis dalam duka
Bersama anak yatim dan janda nestapa
Dalam puing dan debu hunian mereka
Tuhanku, Engkau telah menjadi saksi
Di tanah beku, dingin tak ramah
Ambon, Poso, Sampit, dan Antambua
Di relung kegelapan tetesan derita
Tertegun aku ketika nurani berbisik
Dan mengetuk rebana kerinduan
Tuk berlari dan menyapa
Kembang perdamaian yang kini mekar
Sayap persaudaraan yang kini mengangkasa
Dan hujan kasih saying yang membasuh
Pertiwi
Dari taman sari, relung sanubari
Dari pelataran, getar alam pikiran
Bukan di ujung palu dan tajamnya pedang
(Republika, 18 Januari
2004)
No comments:
Post a Comment